Selasa, 30 Juni 2009

DEFINISI DAN TUJUAN PRAKTIK KEPERAWATAN

1.1 Definisi dan Tujuan Ptaktik keprawatan
Keprawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan . didasarkan pada ilmu dan kiat keprawatan yang ditujukan kepada individu,keluarga kelompok, dan masyarakatbaik sehat atau sakit mencakup kehidupan manusia .
Praktik keprawatan merupakan yindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan sistem klien dan tenaga kesehatah lain dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawab nya pada berbagai tatanan pelayanan , termasuk praktik keprawatan individual atau kelompok
Pewngaturan penyelenggaraan praktik keprawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keprawatan
1.2Pentingnya Undang Undang Praktik Keprawatan
ada beberapa alasan mengapa undang undang praktik keprawatan dibutuhkan
PERTAMA:alasan filosofi. perawat telah memberikan konstribusi besar dalam meningkatkan derajat kesehatan perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan kesehatan pemerintah ,dan swasta dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan terbatas .tetapi pengabdian tersebut belum diimbangi dengan perlindungan hukum . perawat juga memiliki kompetensi keilmuan ,sikap rasional, etis dan profesional dan semangat pengabdian,yang yinggi berdisiplin , kreattif, terampil berbudi luhur ,dan dapat memegang teguh etika profesi. disamping itu ,undand undang ini memiliki tujuan . lingkup profesi yang jelas . kemutlakan profesi,kepentingan bersama berbagai pihak ( masyarakat, profesi, pemerintah ,dan pihak terkait lainya).keterwakilan yabg seimbang dan optimalisasiprofesi, fleksibelitas,efisiensi dan keselarasan , universal keadilan erta keselarasan dankesesuaian interprofesional(WHO,2002)
KEDUA:alasan yuridis.UUD1945,PASAL 5menyebutkan bahwa presiden memegang kekukasaan membentuk uud dan persetujuan DPR.Demikian juga UU nomor23,tahun 1992 pasal32 secara ekspliit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan keprawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keprawatan hanya dapat dilaksanakan oleh tenaha kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan . senangkan PASAL 53 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum serta melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya secara teknis telah berlakukeputusan Menteri Kesehatan kesehatan nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK KEPRAWATAN
KETIGA:alasan sosiologis .kebutuhan masyarakatb akan pelayanan kesehatan khusussnya pelayanan keprawatan semakin meningkat hal ini karena adanya pergeseran dalam paradigma dan dalam pemberian p[elayanan kesehatan dari model medikal yang menitik beratkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan . keparadigma pengobatan yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (cohen 1996)
Keprawatan merupakan suatu profesi dalam dunia kesehatan sebagai profesi . tentunya pelayanan yang diberikan harus profesional sehingga perawat tau ners harus memiliki kompetesi dan memenuhi standar praktik keprawatan serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima keprawatan dan asuhan yang bermuyu
Berdasarkan hasil kajian(DEPKES%UI 2005)menunjukan bahwa terdapat perawat yang menetapakan diagnosis penyakit (92,6%)membuat resep[obat 93,1% melakukan tindakan pengobatan didalam dan diluar gedung , puskesmas(97,1% ) melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%) melakukan pertolongan persalinan (57,7%) melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%) untuk melaksanakan tugas administrrasi sep[erti bendahara (63,3%)
pada keadaan darurat seperti ini yabg disebut dengan "gray area" sering sulit dihindari sehingga sering perawat yang tugasnya berada 24jam bersama pasien sering mengalami kedaruratan kleinbsedangkan tidakada dokter yang bertugas . tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk daeri dokter . terutama di pukesmas yang memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas sering menimbulkan situasi yang nmenimbulkan perawat dan mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan .
Kemudian fenomena yang melemahkan masyarakat dan maraknyan iuntutan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keprawatan sering diidentikkan dengan kegagalan upaya penyelamatan kesehatan
Ssejak dilaksanakan lokakarya nasional keprawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keprawatan mnerupakan suatu profesi dan pendidikan keprawatan berada padapendidikan yang tinggi , berbagai cara telah dilakukan unyuk memajukan profesi keprawatan
Pada tahun 1989 PPNI ,sebagai organuisasi keprawatan di indonesia milai memperjuangkan terbentuknya UU keprawatan .berbagai pristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU keprawatan ini. Pada tahun 1992 diusahakan UU kesehatan yang didalam nya mengakui bahwa keprawatan merupakan profesi (UU, Kesehatan NO ,1992) pristiwa ini penting artimnya karena sebelumya pengakuan bahwa keprawatan merupakan pofesi yang tertuang dalam peraturan pemerintah (PP,NO311996)dan usulan UUbaru disahkan pada 2004
PERLU DI KETAHUI UNTUK MEMBUAT SUATU UNDANG UNDANGDAPAT DITEMPUH DENGAN 2 CARA YAKNI MELALUI PEMERINTAH (UUD1945PASAL 5 ayat1)dan melalui DPR, ( badan legiaslatif negara )s4rlama hampir 20 tahun iniPPNI memmperjuangkan Ruu Keprawatan melalui pemerintah dalam hal ini depkes RI . dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit tapi kenynataan hingga saat ini RUU keprawatan berada dalam urutan 250-an dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang ada dalam 2007 berada dalam urutan 160-an(PPNI,2008)
Dlam UU tentang praktik keprawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :"
"Asuhan keprawatan merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan dalam pada praktik keprawatan baik langsung atau tidak langsung di berikan pada sistem klein disarana dan tatanan ksehatan lainya de3ngan menggunakan pendekatn ilmiah keprawatan berdasarkan kode etik dan standar keprawatan
PASAL 2 bebunyi " :praktik keprawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah dan , etika dan etiket manfaat keadilan , kemanusiaan , keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pe3layanan keprawatan
1.3 PPNI,Mendorong disahkanya UUD praktik Keprawatan
1. Hal ini karena keprawatan sebagai profesi memiki karakteristik adanya kelompok pengetahuan yang melandasi ketrampilan untuk menyelesaikan masalah dan tatanan praktik keprawatan
2. Kewenangan penuh untukl bekerja sesuai dengan keilmuan keprawatan yabg di pelajari dalam suatu sistem pendidikan kkeprawatan yang formal dan berstansdar dan menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukanya
3. perawat telah memberikan konstribusi besar dalm peningkatan derajat kesehatan . perawat vberperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanaan pemerintah dan swasta serta perkotaan hingga pelosok terpencil perdesaan dan perbatasan . tetapi pengabdian itu pada kenyataan belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum , bahkan cenderung menjadi objek hukum
1.4 Undang Undang di Indonesia yang Terkait dengan Praktik Keprawatan
1 .UU NO 9 TAHUN 1960, tentang pokok pokok kesehatan
Bab II tugas pemerintah , pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintahv mengatur kedudukan hukum wewenang dan kesanggupan hukum
2. UU no 6 TAHUN 1963 tentang Tenaga Kesehatan
UU ini membedakan tenagha kesehatan sarjana dan bukan sarjana tenaga kesehatan meliputi dokter, doktergigi, dan apoteker Tenaga perawat termasuk juga tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatandengan pendidikan rendah termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawa\h pengawasan dokter .dokter gigi dan apoteker
3. UU Kesehatan no 14 tahun 1964 , Tentabg Wajib kerja para medis
Pada pasal 2 ayat 3 dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda . menengah dan rendah wajib menjalankan waib kerja kepada pemerintah selama3 tahun dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja kepada pemerintah tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negri sehingga peraturan - petraturan pegawai negeri di perlakkukan kepadanya
4. SK, MENKES NO 262/PER/VI/1979 tqhun 1979
membedakan para medis menjadi 2 golongan paramedis keprawatan (termasuk bidan ) dan para medis non perawatan .dari aspek hukum suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah melainkan masuk dalam kategori tenaga keprawatan
5. Permenkes,no363/Menkes/Per/XX /1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas berbeda antara tenaga keprawatan dan kebidanan . bidan seperti halnya dokter diijinkan mengadakan praktik swasta , sedangkan tenaga keprawatan secara ridak resmi tidak diijinkan . dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan dan pelayanan KB .peraturan ini dikatakan kurang relevan dan adil bagi keprawatan perlub kita ketahui dinegara lain praktik di ijinkan membuka praktik swasta
6. SK,MENTERI Negara Mendatagunakan Aparatur Negara NO 94/Menpan/1986, tanggal 4 november tahun 1986 , TENTANG JABATAN FUNGSIONAL TENAGA KEPRAWATAN DAN SISTEM KREDIT POIN dalam sistem ini dijelasakan bahwa keprawatan dapat naik pangkatnya dan jabatanya bila memenuhi angka kredit tertentu setiap dua tahun dalam SK ini tenaga keprawatan yang dimaksud adalah penywnang kesehatan yang sudah mencapai gilongan II/a , pengatur rawat/perawat kesehatan/bidan , sarjana muda/ DIII Keprawatan dan S1 Keprawatan sistem ini dapat menguntungkan perawat karena daapat naik pangkatnya dan tidak tergantung pada golongan atas pangkatnya
1.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keprawatan dalam RUUKeprawatan

1. Fungsi Keprawatan

pengaturan pengesahab serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keprawatan dalam rangka menimgkatrkan mutu pelayanan praktik keprawatan
2. Tugas Keprawatan
a. melakukan uji kompetensi dalam registrasi keprawatan
b. membuat praturan peraturan terkait dengan praktik keprawatan untuk melindungi masyarakat
3. Wewenang
c. menyetujui dan menolak permohinan registrasu keprawatan
d. mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibutuhkan oleh organisasi profesi keprawatan dan asosiasi institusi pendidikan keprawatan
e.menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan perawat
f. menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oleh perawat
g. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Analisis Kebijakan Publik

Konsep Kebijakan
Pengertian kebijakan merujuk pada tiga hal yakni sudut pandang (point of view); rangkaian tindakan (series of actions) dan peraturan (regulations). Ketiga hal tersebut menjadi pedoman bagi para pengambil keputusan untuk menjalankan sebuah kebijakan. Dari beberapa definisi mengenai kebijakan publik, ada satu definisi yang cukup komprehensif untuk menjelaskan apa itu kebijakan publik. Definisi tersebut berbunyi “respon dari sebuah sistem politik terhadap demands/claims dan support yang mengalir dari lingkungannya”.
Dalam definisi tersebut, respon bisa dilihat sebagai isi dan implementasi serta analisis dampak kebijakan; sistem politik tentu saja merujuk pada aktor politik (pemerintah, parlemen, masyarakat, pressure groups dan aktor yang lain), demands dan claim bisa jadi merupakan tantangan dan permintaan dari aktor-aktor tadi, sedangkan support bisa merujuk pada dukungan baik SDM maupun infrastruktur yang ada, dan yang terakhir, lingkungan merujuk pada satuan wilayah tempat sebuah kebijakan diimplementasikan.
Berdasarkan konsep tersebut, tersusunlah sebuah sistem kebijakan publik yang terdiri atas elemen-elemen yakni: orientasi, tindakan yang benar-benar dilakukan, sifat positif maupun negatif untuk melakukan sesuatu dan pelaksanaan melalui perundangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
Berdasarkan atas konsep tersebut, maka pemerintah sebagai pelaku utama implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda yakni fungsi politik dan fungsi administratif. Fungsi politik terkait dengan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sedangkan fungsi administrasi terkait dengan fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan publik memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, aktor-aktor lain juga harus memainkan peran pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebuah kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut: identifikasi, formulasi, adopsi, implementasi dan evaluasi. Dalam proses identifikasi, pemerintah merasakan adanya masalah yang harus diselesaikan dengan pembuatan kebijakan. Berdasarkan identifikasi tersebut dilakukanlah formulasi kebijakan. Kebijakan disusun berdasarkan alternatif-alternatif tindakan dan partisan. Setelah alternatif tindakan dan partisipan disusun, maka proses adopsi dilakukan dengan memilih alternatif terbaik dengan memperhatikan syarat pelaksanaan, partisipan, proses dan muatan kebijakan. Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan terkait dengan pihak-pihak yang terlibat, tindakan yang dilakukan dan dampak terhadap muatan kebijakan itu sendiri. Setelah implementasi kebijakan dilakukan, evaluasi kebijakan harus dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul dalam evaluasi antara lain adalah: bagaimana kemangkusan dan kesangkilan kebijakan, siapa yang terlibat, apa konsekuensi implementasi dan apakah ada tuntutan untuk mencabut atau mengubah kebijakan tersebut.

Pengertian Analisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik adalah proses penciptaan pengetahuan dari dan dalam proses penciptaan kebijakan. Maka dari itu analisis kebijakan publik menurunkan beberapa ciri yakni: (1) analisis kebijakan publik merupakan kegiatan kognitif, yang terkait dengan proses pembelajaran dan pemikiran. (2) analisis kebijakan publik merupakan hasil kegiatan kolektif, karena keberadaan sebuah kebijakan pasti melibatkan banyak pihak, dan didasarkan pada pengetahuan kolektif dan terorganisir mengenai masalah-masalah yang ada. (3) Analisis kebijakan merupakan disiplin intelektual terapan yang bersifat reflektif, kreatif, imajinatif dan eksploratori. (4) analisis kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah publik, bukan masalah pribadi walaupun masalah tersebut melibatkan banyak orang.

Analisis Kebijakan Publik dan Ilmu Pengetahuan
Masalah kebijakan berkaitan dengan masalah sosial dan manusia, tapi tidak pada pertanyaan “apa yang dilakukan” namun lebih kepada menjawab pertanyaan “apa yang harus dilakukan”.

Elemen dalam Kebijakan yang Menjadi target analisis
Terdapat tiga elemen dalam kebijakan yang menjadi target analisis, yakni: (1) faktor determinan utama; (2) isi kebijakan; dan (3) dampak kebijakan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Tipe Analisis Kebijakan
Tipe analisis kebijakan dikategorikan menjadi dua tipe yaitu:
1.Tipe analisis akademis. Tipe analisis ini berfokus pada hubungan antara faktor determinan utama dengan isi kebijakan dan berusaha untuk menjelaskan hakikat, karakteristik dan profil kebijakan dan bersifat komparatif baik dari segi waktu maupun segi subtansi.
2.Tipe analisis terapan. Tipe analisis ini lebih memfokuskan diri pada hubungan isi kebijakan dengan dampak kebijakan serta lebih berorientasi pada evaluasi kebijakan dan bertujuan untuk menemukan alternatif lebih baik dan bisa menggantikan kebijakan yang sedang dianalisis.
Gaya Analisis Kebijakan
Secara garis besar, gaya analisis kebijakan dibedakan menjadi tigakategori yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif masih dibedakan menjadi 2 bagian yakni (a) analisis isi (content analysis) yang merupakan definisi empiris mengenai isi kebijakan terutama pada maksud, definisi masalah, tujuan dan orientasi sebuah kebijakan; (b) analisis sejarah (historical analysis) yang lebih menekankan aspek evolusi isi kebijakan dari awal pembentukan hingga implementasinya bahkan bersifat ekspansif dengan membandingkan beberapa kebijakan secara kronologis-sinkronis.
2. Analisis Proses
Analisis proses tidak begitu berfokus pada isi kebijakan, namun lebih memfokuskan diri pada proses politik dan interaksi faktor-faktor lingkungan luar yang kompleks dalam membentuk sebuah kebijakan. Proses politik inipun masih didekati dengan dua aras yakni proses interaksi para pemangku kepentingan dan struktur politis negara tempat sebuah kebijakan digodok.
3. Analisis Evaluasi
Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat penilaian. Penilaian yang diberikan bisa didasarkan pada konsistensi logis, efisiensi dan karakteristik etis. Oleh karena itu analisis evaluasi ini masih dibedakan menjadi tiga bagian yakni (a) evaluasi logika, dimana analisis ini melakukan evaluasi atas beberapa dimensi yakni konsistensi internal tujuan kebijakan; konsistensi tujuan dan instrumen kebijakan; dan perbedaan antara konsekuensi yang diharapkan dan yang tidak diharapkan; (b) evaluasi empiris, dimana analisis ini bertujuan untuk mengukur apakah kebijakan publik mampu memecahkan masalah dan menekankan teknik-teknik untuk melihat efisiensi dan efektifitas sebuah kebijakan; (c) evaluasi etis yang dalam analisisnya mengacu pada etika, norma dan nilai (value) dimana dalam evaluasi yang lain sangat bersifat bebas nilai.

Model Analisis Kebijakan
Dalam mengkritisi kebijakan, terdapat dua pendekatan yaitu: (1) Analisis proses kebijakan (analysis of policy process), dimana dalam pendekatan ini, analisis dilakukan atas proses perumusan, penentuan agenda, pengambilan keputusan, adopsi, implementasi dan evaluasi dalam proses kebijakan. Jika dilihat dari item analisisnya, pendekatan ini lebih melihat kandungan (content) sebuah proses kebijakan. (2) Analisis dalam dan untuk proses kebijakan (analysis in and for policy process), dimana dalam pendekatan ini, analisis dilakukan atas teknik analisis, riset, advokasi dalam sebuah proses kebijakan. Nampaknya, pendekatan ini cenderung melihat prosedur proses kebijakan. Hasil analisis kebijakan adalah informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kebijakan. Analisis bisa dilakukan pada semua tahap proses kebijakan. Pada tahap agenda setting, analisis dilakukan untuk mengidentifikasi masalah publik dan memobilisasi dukungan agar masalah publik tersebut menjadi kebijakan publik. Hasil analisis tahap ini adalah daftar masalah publik yang menjadi agenda pemerintah. Analisis pada tahap selanjutnya dilakukan untuk menemukan alternatif kebijakan publik dengan menentukan tujuan, sasaran, program dan kegiatan. Hasil analisis tahap ini adalah pernyataan kebijakan (policy statement) yang biasanya berupa peraturan perundangan. Analisis pada tahap selanjutnya mencakup interpretasi dan sosialisasi kebijakan, merencanakan serta menyusun kegiatan implementasi kebijakan. Hasil analisis pada tahap ini adalah aksi kebijakan (policy action). Analisis berikutnya adalah evaluasi implementasi kebijakan dengan memperhatikan tingkat kinerja dan dampak sebuah implementasi kebijakan. Hasil analisisnya berupa informasi kinerja yang akan menjadi dasar tindakan apakah kebijakan tersebut akan diteruskan atau sebaliknya.
Kegagalan sebuah kebijakan publik disebabkan oleh beberapa kesalahan antara lain kesalahan dalam perumusan masalah publik menjadi masalah kebijakan, kesalahan dalam formulasi alternatif kebijakan, kesalahan dalam implementasi atau kesalahan dalam evaluasi kebijakan. Oleh karena itu analisis kebijakan dalam tiap tahap merupakan satu hal yang krusial untuk mencegah kegagalan sebuah kebijakan.

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF

KONTROVERSI PENGOBATAN ALTERNATIF ALA PONARI:

Di tangan bocah cilik Mohammad Ponari segenggam batu dipercaya dapat mengobati segala macam penyakit. Jadilah dia berjuluk dukun cilik yang sepanjang pagi hingga malam diburu puluhan ribu orang yang berharap berkah kesembuhan darinya. Warga yang mencari kesembuhan tak hanya memadati rumah dan halaman keluarga Ponari. Desa Balongsari, Jombang, Jawa Timur, kampung halaman Ponari pun penuh sesak oleh lautan manusia.

Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini 11 Februari lalu. Alasannya, Ponari kelelahan dan jatuh sakit. Dan telah jatuh korban pula. Empat orang tewas ketika berdesakan hendak memburu pengobatan Ponari. Setelah ditutup, warga yang tak kebagian air bekas celupan batu milik Ponari memburu air di sumur dan comberan di sekitar rumah Ponari. Lantaran peminatnya terus berdatangan, pekan ini, pengobatan Ponari akhirnya dibuka kembali.

Banyak orang kadung percara dengan pengobatan ala Ponari. Namun tahukah Anda, ketika Ponari sakit, si dukun cilik itu dibawa ke dokter. Meski tak sampai menginap di rumah sakit, masyarakat perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehatnya saat harus percaya dengan pengobatan ala Ponari. Karena bahkan pada dirinya sendiri, dia tak mampu menyingkirkan sakit yang menderanya. Bukan itu saja. Kasmin, ayah Ponari, pun lebih memilih pengobatan modern dibandingkan harus berobat ke anaknya sendiri.

Benarkah jimat memiliki kekuatan yang tersembunyi? Apakah ini hanya takhayul semata?

Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Jimat” diartikan sebagai benda yang mengandung kesaktian untuk menolak penyakit, menjadikan kebal senjata, dan sebagainya.
Penggunaan “dan sebagainya” pada keterangan tersebut agaknya sengaja dilakukan penyusun kamus agar pendefinisian kata “Jimat” tidaklah terlalu panjang dan bertele-tele. Pada kenyataannya, keyakinan mengenai jimat memang tidak berhenti pada aspek menolak penyakit dan kebal senjata. Masih banyak aspek-aspek lain yang diyakini bisa muncul lewat kekuatan (gaib) sebuah jimat. Sebagai contoh, jimat untuk peruntungan, jimat pengasihan, hingga jimat untuk kekuatan seks.
Benda-benda yang dianggap sebagai jimat dilaporkan ditemukan di berbagai belahan dunia. Pada masyarakat Mesir Kuno, misalnya, ada macam-macam jimat yang ditemukan menempel pada mumi. Dua di antaranya adalah yang disebut Scarab sebagai lambang keabadian, dan Ankh berupa palang terbalik sebagai simbol kehidupan. Kedua model jimat ini masih digunakan di Barat.
Di wilayah Polinesia terdapat Tiki, berupa benda kecil berbentuk ukiran tubuh manusia yang berhubungan dengan kelahiran. Jimat model ini juga masih populer di Barat.
Sementara itu, benda-benda alamiah berbentuk aneh pun kerap dipakai sebagai jimat. Mulai dari logam, bulu, kain, kayu, tulang, kerang, gigi dan kuku binatang, sampai tanaman. Barang-barang itu diyakini menyimpan energi dari kekuatan alam. Sebagai contoh, bagi pria suku primitif Mocovi di Chaco, Amerika Utara, kuku rusa yang diikatkan di pergelangan kaki dan pinggang dijadikan sebagai jimat agar membuat mereka bisa berlari secepat rusa.Atau, kita tak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di kalangan masyarakat kita pun ada kepercayaan yang nyaris serupa. Batu akik kecubung asihan dipercaya punya khasiat menolak penyakit menular, menambah rasa percaya diri, kewibawaan, dan kehormatan. Jenis akik ini biasanya juga dipakai sebagai jimat agar enteng jodoh.
Demikianlah beberapa buah contoh jimat alamiah, yang tentu saja untuk memperolehnya tidaklah mudah. Bahkan, jimat-jimat alamiah tersebut sejatinya tidak bisa langsung siap pakai atau langsung terasa khasiatnya, melainkan juga harus melalui proses ritual tersendiri untuk pengisiannya.
Sekarang, mari kita fokuskan pembahasan kita pada berbagai jenis jimat buatan manusia, yang tentu saja ahli dalam bidang ini. Mengutip pendapat Prancis Barrett dalam The Magis or Celestial Intelligencer, apa yang disebut sebagai jimat buatan tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu kala, dan khasiatnya memang bisa dirasakan. Sebagai contoh, Barrett mengatakan, “Jika seseorang mengenakan jimat dari perak, logam yang mewakili bulan, dibuat ketika bulan sedang baik, maka orang itu akan mendapatkan kesehatan yang baik dan dihormati orang.”
Menurut Saipudin, paranormal yang cukup kondang dengan berbagai kreasi bentuk jimat, apa yang dinamakan sebagai jimat buatan memang sengaja “diisi” dengan kekuatan gaib lewat ritual tertentu. Dengan disertai doa dan niat tertentu, kekuatan itu akan mengalir ke dalam benda yang menjadi sarana jimat.
“Pengisian kekuatan gaib pada benda-benda tersebut harus dengan laku (tirakat). Misalnya, dengan bertapa seperti dilakukan para empu zaman dulu. Atau kadang saya mengisinya dengan cara melakukan wirid dan riyadhoh, dengan disertai puasa selama empat puluh hari,” tambah Saipudin
Jimat buatan memang dibikin oleh ahlinya dengan cara mencurahkan pikiran dan kekuatannya pada suatu benda sehingga menghasilkan energi gaib yang luar biasa. “Khasiat jimat, terutama jimat buatan, sangat tergantung pada niat saat pengisian,” tegas Saipudin.
Ada anggapan awam bahwa setiap benda bisa “diisi” atau dijadikan sebagai jimat. Oleh Saipudin hal ini dianggap kurang tepat. Dengan mengutip penjelasan yang terdapat dalam Kitab Mamba’u Usulil Hikmah, dia menyebutkan hanya ada empat macam benda yang bagus dijadikan sebagai media jimat. Keempat macam benda tersebut, adalah: kain, kertas, logam (terutama emas, perak, besi, dan timah), dan kulit binatang (harimau dan kijang).
Pemilihan media jimat tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembuatan jimat. “Sebagai contoh, untuk membuat jimat pelarisan bisnis atau usaha itu sangat baik bila menggunakan media kain atau logam berupa perak atau besi. Sementara untuk kadigdayaan, sangat baik jika menggunakan media berupa kulit binatang, harimau atau kijang,” papar Saipudin.

Khasiat Jimat
Benarkah sebuah jimat dapat berkhasiat? Atau mungkin khasiat itu muncul akibat sugesti semata? Lantas, apakah benar menggunakan jimat itu secara hukum agama (Islam) dikatakan sebagai syirik?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, yang selama ini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat awam, sebelumnya marilah kita simak kisah berikut ini, yang kami nukilkan dari Kitab Kisosul Anbiya….
Seperti diketahui, atas ijin Allah, Nabi Sulaeman AS bisa melakukan hal-hal yang sangat luar biasa. Dia bisa memerintah bangsa jin, menundukkan angin, berdialog dengan berbagai jenis binatang, dan lain sebagainya. Berkat kemampuannya yang maha luas ini, Sulaeman menjadi seorang raja yang kaya raya, dan mendapat pengakuan baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Kendati demikian dia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana.
Untuk melancarkan roda pemerintahan yang dipimpinnya, Sulaeman didampingi oleh dua orang perdana menteri. Masing-masing adalah Asip Bin Barkhoya yang berasal dari bangsa manusia, dan Istirohi yang berasal dari bangsa jin.
Tanpa sepengetahuan Sulaeman, Istirohi sesungguhnya sudah sejak lama ingin mengetahui apakah yang menjadi sumber kekuatan sang nabi. Sebagai jin yang licik dan licin, dia selalu kasak-kusuk mencari rahasia itu, sampai akhirnya dia pun mengetahui bahwa sumber kekuatan Nabi Sulaeman terdapat pada cincin kesayangannya. Cincin ini memang tak pernah lepas dari jari manis Sulaeman.
Istirohi tak pernah berhenti mencari akal untuk mencuri cincin ini. Sampai suatu ketika mimpinya itu menjadi kenyataan.
Dikisahkan, suatu ketika saat Nabi Sulaeman sedang mandi di kolam pemandian raja, tanpa curiga ada yang memiliki niat jahat pada dirinya, dia meletakkan cincin kesayangannya itu di atas batu yang ada di tepian kolam. Ketika itulah Istirohi mencurinya. Dia kemudian segera pergi ke ruangan sang raja. Begitu memakai cincin tersebut, maka menjelmalah Istirohi sebagai Sulaeman yang agung dan perkasa.
Lantas, apa yang terjadi dengan Nabi Sulaeman?
Dikisahkan, setelah kehilangan cincinnya maka dia pun kehilangan semua kekuatan dan keperkasaan yang ada pada dirinya selama ini. Bahkan, tak ada seorang pun dari hamba dan rakyatnya yang mengenali siapa dia yang sesungguhnya. Ya, Sulaeman benar-benar berubah menjadi orang biasa, rakyat jelata.
Ringkas cerita, Sulaeman akhirnya terusir dari kerajaannya sendiri. Dia mengembara dan hidup sangat miskin. Bahkan untuk sekedar makan saja sulit untuk mendapatkannya.
Sampai suatu ketika, tibalah Sulaeman di sebuah pesisir. Di sana, dia melihat seorang nelayan tengah menarik dan melepas ikan-ikan dari jalanya. Karena didorong oleh rasa lapar, Sulaeman menawarkan diri untuk membantu si nelayan. Si nelayan tidak keberatan, namun dia hanya bisa memberikan satu ekor ikan kepada Sulaeman sebagai upah dari jerih payahnya.
Tidak diceritakan berapa lama Sulaeman membantu nelayan tua itu. Namun disebutkan, karena terpesona oleh keluhuran budinya, maka si nelayan akhirnya menikahkan Sulaeman dengan salah seorang putrinya.
Begitulah, Sulaeman menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan….
Sementara itu, setelah Nabi Sulaeman kehilangan cincinnya, maka Istirohi-lah yang menguasai seluruh kerajaannya. Dengan cincin sakti itu, Istirohi benar-benar menjadi Sulaeman baik secara fisik maupun kekuatannya. Hanya satu hal yang membuat hamba dan rakyatnya merasa heran. Sulaeman tak lagi memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sebagai sosok perdana menteri yang cakap dan andal, Asip Bin Barkhoya menaruh curiga pada sang raja yang telah berubah. “Mengapa Baginda Sulaeman menjadi tidak adil? Bukankah dia bukan hanya raja, tapi juga nabi yang harus berbuat adil kepada ummatnya?”
Kira-kira demikianlah kecurigaan Asip Bin Barkhoya. Dia merasa yakin bahwa yang memerintah saat itu bukanlah Sulaeman yang sebenarnya.
Akhirnya, Asip Bin Barkhoya mengadakan sebuah rapat rahasia dengan para ponggawa kerajaan lainnya. Ternyata, semuanya memiliki kecurigaan yang sama. Namun masalahnya, bagaimana cara membuktikan kecurigaan itu.
Setelah melakukan dialog, Asip Bin Barkhoya tiba pada suatu kesimpulan bahwa untuk membuktikan yang duduk di singgasana adalah Sulaeman palsu, maka harus diadakan pembacaan Kitab Zabur di dalam istana. Semua menyetujui usulan ini.
Pada hari yang telah ditentukan, saat Sulaeman palsu masih lelap di peraduan, sebuah majelis akbar digelar untuk membacakan Kitab Zabur. Apa yang terjadi?
Saat ayat-ayat Zabur berkumandang maka kepanasanlah seluruh tubuh Sulaeman palsu alias Istirohi. Dia menjerit-jerit kesakitan. Semakin keras Zabur dibaca, maka Istirohi pun semakin kesakitan, bahkan kemudian tubuhnya terlempar ke angkasa dan cincin sakti milik Nabi Sulaeman itu terlepas dari jari manisnya.
Dikisahkan, setelah terlepas dari tangan Istirohi cincin itu kemudian jatuh ke tengah samudera dan dimakan oleh seekor ikan. Ikan ini kemudian tertangkap oleh jala Nabi Sulaeman AS yang telah menjadi nelayan. Tanpa curiga, Sulaeman membawa ikan ini ke rumahnya. Saat isterinya membersihkan ikan tersebut, maka di dalam perut ikan ditemukanlah cincin sakti miliknya yang telah lama hilang.
Akhir dari cerita ini tentu sudah dapat diduga. Sulaeman memakai cincin sakti itu, dan dia kembali seperti sediakala….
Kisah tersebut jelas merupakan ujian Allah atas kenabian Sulaeman AS. Di samping itu, ada hal yang dapat disandingkan dengan pembahasan kita mengenai kesaktian sebuah jimat. Bahwa, Allah SWT memang berkehendak memberi kekuatan kepada benda-benda tertentu. Salah satunya, seperti pada cincin Nabi Sulaeman sebagaimana dikisahkan tadi.
Lalu, simak pula kisah kemukjizatan tongkat Nabi Musa AS yang dapat membelah lautan. Intinya, benda apa saja dapat memiliki kekuatan tersendiri atas ijin Allah SWT. Dalam lingkup yang lebih kecil, tidaklah mustahil atau bahkan diklaim sebagai takhayul bahwa jimat-jimat itu juga mengandung suatu kekuatan.
Baik cincin atau tongkat pada kisah Sulaeman dan Musa tentu saja kedua benda tersebut hanyalah media. Hal yang sama tentunya berlaku juga pada jimat. Ya, jimat, apa pun bentuknya, hanyalah sebuah media. Sementara kekuatan yang ada di dalamnya mutlak dari dan berasal dari Allah SWT. Karena itu, apakah seorang yang memegang jimat harus dianggap syirik?
“Tentu saja semua itu tergantung pada keyakinan masing-masing. Namun menurut hemat saya, hal tersebut harus kita kembalikan pada proses pembuatannya. Jika proses pembuatannya bersendikan pada Al Qur’an dan hadits, menurut hemat saya tentu tidak perlu dipermasalahkan,” komentar Saipudin menanggapi pertanyaan di atas.
Lebih lanjut diuraikan olehnya bahwa cara membuat jimat, mulai dari pemilihan bahan hingga proses penulisannya sesungguhnya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Untuk menulis jimat misalnya, perlu diketahui rumusannya.
“Sama seperti matematika, penulisan jimat juga ada rumusnya. Jadi, tidak boleh sembarangan,” tegas Saipudin.
Seperti halnya Aljabar, menulis jimat juga mengenal perhitungan. Sebagai contoh, jika ingin membuat jimat dengan mencantumkan lafadz Asma’ul Husna yang jumlah nilainya 35 dengan memasukkannya ke dalam 8 kolom, maka kedua pertemuan sudut harus menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 35. Demikian juga angka-angka pada kotak yang di tengah harus berjumlah 35 juga (lihat contoh kolom jimat).
“Mengapa harus seperti ini? Nah, ini tidak bisa dicarikan penjelasannya, sebab sudah pakem dari para ahli Ilmu Hikmah memang seperti itu,” urai Saipudin.
Di dalam pakem yang sama, juga telah ditetapkan aturan penulisan kolom-kolom pada jimat, yakni dimulai dari 4, 5, 6, dan 8. Ada juga yang 13 kolom, namun ini jarang digunakan karena tingkat kesulitannya. Masing-masing dari jumlah kolom tersebut juga memiliki nama tersendiri. Contohnya, yang 4 kolom disebut Murobba’, 5 kolom Mukhommas, dan yang 6 kolom disebut Musaddas.
Sementara itu, menyangkut waktu penulisan jimat digunakan dua rumus sekaligus, yakni rumus hari dan jam. Dijelaskan oleh Saipudin, kedua rumusan ini penting dipakai karena pada masing-masing hari ada rahasianya tersendiri. Menyangkut jam yang baik disebut sebagai Sa’at Sa’idah.
“Dalam pakem Ilmu Hikmah, setiap hari itu dijaga oleh nabi, malaikat dan jin yang berbeda. Rumusan ini sudah ada sejak ribuan tahun silam, hanya saja jarang diungkap. Mungkin, hanya para santri yang pernah belajar di pondok pesantren salafiyah (tradisional) yang mempelajarinya. Hal itupun sangat jarang diajarkan Kyai, kecuali kepada para santri senior yang sudah mesantren puluhan tahun,” papar Saipudin.
Terkait dengan rumus hari dan Sa’at Sa’idah, sebagai contoh disebutkan Saipudin:
- Hari Minggu: Nabinya Isya, Malaikatnya Rupayail, Jinnya Maimun, Sa’at Sa’idah pukul 10.
- Hari Senin: Nabinya Muhammad, Malaikatnya Jibroil, Jinnya Maroot, Sa’at Sa’idah pukul 10
- Hari Selasa: Nabinya Sulaiman, Malaikatnya Samsamail, Jinnya Ahmar, Saat Sa’idah tidak ada (hari kurang baik).
“Demikian seterusnya setiap hari dijaga oleh nabi, malaikat, dan jinnya masing-masing. Ibaratnya, mereka inilah yang kena giliran piket,” tambah Saipudin.
Karena hari memiliki watak yang berbeda-beda, maka untuk penulisan jimat harus disesuaikan dengan tujuan dan harinya. Kalau untuk pelarisan dan efek psikologis lainnya sangat baik dibuat pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jum’at. Sedangkan untuk tujuan kadigdayaan dan efek fisik sebaiknya dibuat pada hari Selasa atau Sabtu.
Menserasikan karakter hari dengan perhitungan nilai/neptu nama si pemakai jimat merupakan hal yang sangat penting agar jimat dapat menunjukkan keampuhannya. “Ini tak beda dengan rumusan Fengshui atau Numerologi,” tandas Saipudin lagi.
Dalam penulisan atau pembuatan jimat kerap kali ditemukan ayat-ayat Qur’an atau lafadz-lafadz Asma’ul Husna. Karena itu tak mengherankan bila banyak kalangan ulama (terutama Ulama Fiqih) menuding hal ini sebagai tindakan yang diharamkan. Menurut Saipudin, tuduhan seperti ini wajar saja. Salah satu alasannya, ditakutkan ayat Qur’an atau lafadz-lafadz tersebut dibawa ke suatu tempat yang kotor. Misalnya saja tempat maksiat.
“Nah, untuk mensiasati hal tersebut, para ahli Ilmu Hikmah memiliki kiat tersendiri,” tanggap Saipudin. Kiat yang dimaksudkannya, adalah:
1. Mengganti huruf-huruf dalam lafadz dengan angka atau nilai dari huruf-huruf tersebut. Contohnya: Menggantikan lafadz Allah (dalam huruf Arab/Hijaiyah) dengan angka atau nilai dari huruf-huruf Alif, Lam, Lam, dan H. Jadi dalam jimat bisa ditulis: 1, 30, 30, 5 (dalam angka Arab). (Daftar nilai huruf-huruf Hijaiyah lihat ilustrasi).
2. Menuliskan ayat dengan cara memotongnya dengan kolom.

INSTITUSI SOSIAL ,JARINGAN SOSIAL, DAN DUKUNGAN SOSIAL

INSTITUSI SOSIAL ,JARINGAN SOSIAL, DAN DUKUNGAN SOSIAL
PERS PANCASILA: DARI KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL∗

Bagaimana kita melihat kehidupan pers? Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari
institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga masyarakat untuk
menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh
pikiran dan pendapat dari pihak lain. Institusi pers merupakan bagian dari institusi sosial
yang lebih luas, berupa kegiatan intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir
karena masyarakat memang memerlukan dan menyediakan mekanisme bagi forum alam
pikiran dan masalah sosial.
Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi yang memiliki peranan strategis dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan berlangsung melalui efek informasi ini dalam dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu sampai timbul tindakantindakan yang berpola dalam masyarakat.
Penyajian berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam
pikiran individu khalayak pembaca. Kalau efek individual ini memunculkan tindakantindakan
berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam masyarakat, maka
pers pun dapat disebut berperan.
Landasan semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar memiliki kesadaran nasional. Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional, yang vis-a-vis dengan sistem kolonial.
sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu membentuk kesadaran nasional pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana yang lebih memberikan kontribusi, apakah
pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh tokoh-tokoh perjuangan
yang memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada
dasarnya terbangun melalui media sosial, bukan melalui media pers.
Keterbatasan oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas,
boleh dicatat sebagai faktor betapa pers nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di
kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru yang relatif telah
mengentaskan banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk
tujuan mendidik seperti koran masuk desa, harus diimbangi dengan forum media seperti
kelompok pembaca.
***
Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan setiap
penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,
setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja
di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda
menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh
kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan
intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat
modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.
Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda
sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk
menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang
populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat
preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan
daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.
Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai
artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian
materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.
Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan
upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam
hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Belanda. Haaatzaai
artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih
menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada
dalam setting hukum kolonial.
Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator
sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat
penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat
dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,
misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,
masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan
intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia.
Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya. Keberadaan pers Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.
Dalam negara korporatis, keberhasilan aparat birokrasi dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Institusi ekonomi yang memi-liki jaringan global pada dasarnya tidak terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk
mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai
institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk
mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari
ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.
Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya
sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi
sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis
dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak
dari azas komodifikasi pers.
Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula
institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,
seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,
membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat
moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi
tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut, wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).
Demikianlah, dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.
Jika seluruh institusi kemasyarakatan (birokrasi negara, partai politik, intitusi ekonomi, institusi keagamaan, dsb) dalam sistem kenegaraan sudah berjalan sesuai dengan Pancasila, percayalah, pers Pancasila otomatis akan terwujud. Pers hanyalah cermin yang memantulkan bayangan sesuai di luar dirinya.


DUKUNGAN SOSIAL
Definisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “ Social support is the resources provided to us through our interaction with other people ”. (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Pendapat lain dikemukakan oleh siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. “ Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation “ (Siegel dalam Taylor, 1999).

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama.

Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.

Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk. Yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.


2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam memepengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Safarino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersdia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Duklungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

KEBIJAKAN UMUM

POLICY (kebijakan) :

- Kumpulan keputusan yang diambil pelaku demi usaha

- Memilih tujuan & cara mencapai tujuan

Sehingga : Pembuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.


Input ==> proses ==> out put

Analisa --- membuat --- kebijakan

Politik ---- keputusan --- umum


KEBIJAKAN PUBLIK

Mengenai:

- apa yg pemerintah lakukan?

- mengapa mereka melakukannya?

- apa perbedaan membuatnya?


pilih lakukan atau tidak lakukan


Tugas pemerintah:

- mereka mengatur perselisihan dalam masyarakat

- menyalurkan barang dan jasa

- membuat uang ==> daripada kebijakan umum ==> mengatur : a. organisasi. b. penyaluran. c.produksi


Wilayah:

- pertahanan

- urusan asing

- pendidikan

- keamanan

- pajak

- sehat, dan lain-lain. ==> manusia, uang, bahan, program, pimpinan.


Modern ==> tingkah laku

memproses ==> deskripsi & penjelasan ==> sebab & efek aktifitas pemerintah.


PEMBAGIAN DAN ALOKASI

Pembagian dan alokasi nilai – nilai dalam masyarakat yang mengikat ==> Sering tidak merata ==> Konflik <== Hub. Dengan kekuasaan & kebijakan pemerintah


Menyangkut :

- Benar baik

- Kenutuhan & keinginan

- Manusiawi


KEKUASAAN ==> Kemampuan mempengaruhi tingkah laku seseorang & kelompok

sesuai keinginan pelaku <== Diperebutkan, Dipertahankan


Pengambilan keputusan <== Keputusan yang mengikat ketika ditaati <==(umum bukan Individu) Alternatif – alternatif, Prioritas <==(lebih sulit, kolektif) Who gets : What, When, How (Heterogen/ Homogen )


Point :

- Negara

- Kekuasaan

- Pengambilan keputusan

- Kebijakan

- Distribusi & alokasi resources


Negara ==> organisasi dalam satu wilayah ==> Sah, Ditaati rakyat

==> Kehidupan Negara ==> Systemnya


POLITIK DALAM KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan ==>

Perawat :

- Konsumen peduli pemerintah

- Peduli swasta

- Sektor lain


Politik ==> tujuan umum

Ilmu :

1. Proses penentuan tujuan

2. Melaksanakan tujuan


Pengambilan keputusan

Tujuan ==> kebijakan umum ==> Power ==> Mengatur & membagi

Autority ==> sumber yang ada <== Persuasi paksaan


ANALISA POLITIK

1. Institusional : kebijaksanaan sebagai instansi antivity

Pemerintah :

- sah menurut hukum

- universalisme

- memegang hak monopoli

==>hadiah, hukuman

2. Teori group : kebijaksanaan sebagai keseimbangan grup

Mengatur ==> perselisihan grup

- menetapkan peranan permainan

- mengatur penyelesaian perselisihan keseimbangan minat

- menetapkan penyelesaian perselisihan dalam bentuk kebijakan umum

- menguatkan penyelesaian perselisihan ini

3. Teori elite : elit, berhenti & administrasi, petunjuk kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, gumpalan

Kebijakan elite ==> tergantung pada : oknum, sistem social, system budaya

4. Rasional : kebijaksanaan pencapaian sasaran efisien

Efisien :

- nilai mencapai

- nilai sacrifica

Rekening:

- sosial

- politis

- migrasi

- kebudayaan

- kuantitatif

- kualitatif

Pembuat kebijakan – harus:

1 tahu semua pilihan2 nilai sosialnya

2 semua alternatif kebijaksanaan tersedia

3 semua akibat

4 semua rasio mencapai / sacrified semua alternatif kebijaksanaan

5 memilih alternatif kebijaksanaan paling efisien

-----------anjuran--------------

masukan ========> masukan

-----------situasi --------------

5. Incremental : kebijaksanaan sebagai variasi di pos

“Perkembangan masyarakat” ==> Pembangunan sosial ==>Untuk memecahkan masalah kebijaksanaan dalam perasi pos

Halangan =========> SWOAT

waktu

latar belakang masalah S = Kekuatan

determinan masalah W = kelemahan

prioritas masalah, dll A = analisis

6. Proses

7. Teori pilihan public

8. Game theory : kebijaksanaan sebagai pilihan rasional dlm situasi pertandingan

Konsep utama: STATEGI

pilihan terbaik

hasil terbaik

Pemain A

alternatif (1) alternative(2 )

Pemain B alternatif (1) hasil hasil

alternatif (2) hasil hasil

MELIHAT :

- manusia

- Permainan

- Bagaimana memainkan permainan

9. TEORI SISTEM : kebijakan sebagai system output

- Proses pengambilan kebijakan dlm ruang lingkup DPD-RI

- Prinsip dasar : masyarakat saling tergantung satu sama lain seperti organisme dlm biologi

- Dikembangkan oleh politisi : David Easton tahun 1953

- INPUT : permintaan (demand), dukungan (support)

- OUTPUT : keputusan (decision), action

POLITIK DAN KESEHATAN

POLITIK APA ????

1. Strategi
2. Cara
3. Pemikiran atau ilmu yang penting hasilnya
4. Persaingan ( kompetition, konflik )
5. Pengaturan ( Regulasi )
6. Kedudukan ( Accupation )
7. Seni, proses, dan enak dinikmati
8. Kekuasaan ( Power )
9. Rational chace ( Pilihan yang masuk akal )


Yang mengatur, tidak mungkin merugikan sendiri
Electrolal trest holl ( Batas yang boleh ikut pemilu selanjutnya )
Kebijakan publik ( Harus di lakukan atau tidak )


POLITIK :1-7 menuju 8
Tujuan : Mengelola persaingan, kompetisi, konflik supaya di hasilkan konsesus

POLITIK MENURUT LASWELL
" Who ger what, How many, When and where "

PATRIMONIAL :Hubungan penguasa dan yang di kuasai dipengaruhi oleh hubungan paternalisme ( timbal balik patron dan klien )

ALOKASI (Anggaran ) dan DISTRIBUSI SUMBER-SUMBER (pupuk,SDM berkualitas, uang, obat-obatan, sembako )

POLITIK KAPITALIS :Alokasi kembali kepada pemilik modal

MANFAAT MEMPELAJARI ILMU POLITIK :
- Kesehatan tidak bisa dilepaskan dari sistem yang ada,

APA RELEVANSI ILMU POLITIK BAGI MAHASISWA KESEHATAN ???
1. Malpraktek
2. Izin praktek
3. RUU-Keperawatan
4. Obat dan penyembuhan tradisional
5. Kelaparan
6. Flu burung
7. HIV-AIDS
8. Angka kematian bayi
9. Aborsi bayi

RUU_KEPERAWATAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Undang – undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional keduanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki.
12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan tujuan praktik keperawatan?
2. Mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.?
3. Mengapa (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
4. Apa saja isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan?
5. Apa tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.
1. Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan
2. Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan terkait dengan profesi
3. Untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan
4. Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan
5. Mengetahui tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.
Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.
Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.
Dan pasal 2 berbunyi :
“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)
. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar
. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan
1 Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
2 Tugas Keperawatan
a. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
b. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat
 Wewenang
c. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
d. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
e. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
f. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
g. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan
2. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat
4. 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan
5. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat
6. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar
7. Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing di tingkat global
8. Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu
9. Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.
10. Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan)
11. RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di Indonesia.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut:
a. Indonesia memerlukan Undang-Undang yang mengatur segala hal tentang dunia keperawatan. Apalagi akan dibukanya pasar bebas AFTA 2010
b. Diharapkan Menkes proaktif dengan DPR segera membahas RUU agar dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang
c. Para perawat harus mempunyai izin dari suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk memberikan izin praktek bagi perawat, sehingga bisa melindungi pasien.